Senin, 09 Januari 2012

Mau dibawa kemana.... pendidikan Indonesia?

Pendidikan adalah proses pembebasan manusia. Membebaskan dari belenggu yang mengikat manusia satu dengan manusia lain, menindas satu dengan manusia lain. Memaknai apa tujuan manusia, memahami apa perlunya manusia hidup, untuk apa dan bagaimana kehidupan ini bisa kita jalani, inilah hakikat filsafat pendidikan. Memahami pendidikan adalah memahami manusia dari hakikat terdalam manusia.
Akan tetapi yang sering dipahami selama ini pendidikan kita masih terpacu pada masalah-masalah yang tehnis dan kurang substanstif. Inilah yang kemudian mengakibatkan pendidikan ini bergeser dari substansi sebenarnya, yang kembali bertujuan memanusiakan manusia, akan tetapi sekarang bergeser pada masalah pengangguran, masalah kesejahteraan, masalah tehnis semata.Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat. Pendidikan yang sudah mulai memisahkan masyarakat dari pendidikan akan menghasilkan, manusia yang tidak bertanggung jawab dan tidak berbudaya. Dengan demikian, pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang selalu dan selalu terkait dan merefleksikan dirinya dengan masyarakatnya.
Kalau kita melihat realita pendidikan kita saat ini, kita harus prihatin. Mendiknas Muh. Nuh pernah mengatakan: "sebab pendidikan di tanah air membutuhkan sistem yang mapan, tidak selalu berubah-ubah, dan ada kepastian" . Artinya, pemerintah memang sengaja membuat pendidikan sebagai sebuah proses yang berkelanjutan dan lurus-lurus saja. Dengan demikian, pendidikan bisa dibaca sebagai sesuatu yang tentu masih terkait dan masih belum bisa terlepas dari konsepsi kekuasaan.
Sebagaimana Michael Foucault pernah mengatakan, mustahil relasi pengetahuan tidak berhubungan dengan relasi kekuasaan . Dengan demikian, perlu jika, pendidikan kita harus kita tata kembali. Sebab evaluasi dalam pendidikan harus kita lakukan secara terus menerus dan berkesinambungan sebagaimana yang dikatakan Paulo Freire : pendidikan adalah aksi-reaksi reflektif dan berkesinambungan . Artinya, ketika pendidikan sudah mapan dan tidak berkembang, secara otomatis manusia pun akan demikian pula, stagnan dan tidak berkembang.
Sejalan dengan pemikiran Freire, intelektual indonesia yakni Deliar Noer mengungkapkan: "Akan hancurlah jalan pikiran manusia bila segala sesuatu bersifat final . Akan rugi umat manusia bila para pemikir dan para pendidik tidak dapat memiliki kesempatan berpikir lagi. Manusia akan kehilangan puncak kemanusiaannya bila kesempatan tidak dibukakan untuk pemikir dan pendidik ini untuk menangani bidangnya secara rasa tanggung jawabnya.
Dengan melihat pernyataan pemerintah diatas, maka pendidikan kita yang stagnan dan ingin cepat mapan harus kita tolak, jika skenario pemerintah demikian, maka pendidikan karakter yang dicita-citakan pemerintah adalah nihil belaka. Sebab pendidikan yang berkarakter mestinya mengembangkan pemikiran secara terus-menerus. Sebab dari situlah ilmu pengetahuan dibentuk dan diciptakan dari pertanyaan dan jawaban.
Mengembalikaan kembali hakikat pendidikan tidak lain dan tidak bukan adalah mengembalikan konsepsi pendidikan pada hakikat fitroh manusia yaitu menjadikan manusia cerdas dengan dasar kesadaran sikap yang tangguh, kebebasan berpikir, keberanian mengambil resiko, serta keberanian bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil. Bagaimana merumuskan kembali cara dan metodologi untuk mencapai ke arah sana harus mulai dipikirkan lagi, diantaranya salah satu penawaran dari para pakar pendidikan kita dengan tidak lagi mengurusi hal-hal tehnis kecuali kita mulai memikirkan pendidikan yang menghargai dan memberikan tempat kepada bakat dan keunggulan manusia.
Pendidikan yang mengembangkan bakat inilah yang kelak membawa harapan dan memberi tempat potensi manusia itu bisa dinilai secara utuh. Dengan demikian, pengembangan pendidikan yang mengembangkan bakat dengan berbasis komunitas itulah yang kiranya dapat diharapkan di negeri ini yang masih mencari alternatif terbaik dalam menentukan kualitas pendidikannya.

Pemerintah adalah titik pangkal
Pemerintah merupakan pendidik terbesar. Dan manusia bukanlah robot yang dapat sekedar merupakan alat untuk fihak lain dalam kehidupan ini. Manusia robot sudah tidak berkarakter lagi. Dari sanalah sebenarnya muara pendidikan berkarakter mau tidak mau bertumpu pada kebijakan dan political will dari pemerintah. Jika melihat political will dari pemerintah, pemerintah kita saat ini lebih cenderung menggunakan pendidikan sebagai alat kekuasaan. Artinya, pendidikan hanya bertumpu pada bagaimana pendidikan berfungsi untuk politik pembangunan dan kebijakan pemerintah. Pendidikan kita adalah rekayasa besar untuk pemenuhan kebutuhan kerja dan dunia industri.
Sehingga, pendidikan yang seperti ini tak mungkin diharapkan untuk mencerdaskan bangsa, melainkan hanya membebaskan manusia indonesia dari kemiskinan semu semata. Sebab hadirnya ribuan lulusan dari berbagai perguruan tinggi indonesia tidak kemudian memburu masalah untuk diselesaikan, bahkan menambahkan masalah dengan pengangguran dan juga kemiskinan yang semakin bertambah. Akhirnya pendidikan pun malah menjadi GIGO ( garbage input, garbage output ). Masuk sampah, keluar pun sampah.

Hakikat pendidikan karakter
Hakikat pendidikan karakter tidak lain dan tidak bukan adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Muh. Hatta : "Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar . Pendidikan ilmiah di perguruan tinggi dapat melaksanakan pembentukan karakter itu, oleh karena itu, karena .... Ilmu wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.
Jadi hakikat pendidikan karakter tidak lain adalah membentuk mentalitas bangsa diantaranya adalah mencintai kebenaran dan membela kebenaran. Implikasi dari pendidikan yang seperti ini akan mampu menghadirkan manusia-manusia Indonesia yang bermentalitas jujur, memiliki rasa keadilan dan keikhlasan, dan membela kebenaran. Pramudya Ananta Toer pernah menyindir dalam roman bumi manusia: "apa guna sekolah didirikan kalau tidak bisa mengajarkan mana hak mana tidak , mana benar, mana tidak " .
Tugas membentuk dan menciptakan pendidikan yang berkarakter tidak lain dan tidak bukan adalah tugas guru. Ketika pemerintah sudah tidak bisa diharapkan, maka gurulah yang memungkinkan untuk melakukan ini. Mengapa guru penting dan berperan dalam membangun karakter nasional kepada peserta didiknya? Sebab guru sebagaimana yang dikatakan sukarno : "Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin dalam sekolah, guru di dalam arti yang special, ya'ni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak" .
Karena guru yang menjadi pembentuk akal dan jiwa anak itulah, guru sangat berperan dalam membentuk manusia-manusia masa depan, manusia-manusia masa depan itulah yang kelak akan membangun bangsa ini dengan bekal dan karakter yang dibawanya. Dari pendidikan itulah, manusia-manusia masa depan dicetak, ketika guru tidak mengajarkan moralitas dan karakter nasional, maka generasi yang muncul tidak lain adalah generasi yang buta bagaimana ia berjalan di negerinya sendiri. Ia akan merasa asing, dan tidak mampu mengaplikasikan wawasan keilmuannya dalam memberikan kontribusinya kepada bangsa dan negara. Atau sebaliknya yang lahir adalah manusia-manusia yang mengkhianati bangsanya. Guru, dia memikul pertanggungjawaban yang maha berat, terhadap negeri dan bangsanya.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan mindset pendidikan yang sudah kehilangan arah ini, kita kembalikan pada tujuan pendidikan kita yakni membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Ini bisa dilakukan jika pendidikan kita berubah dari pendidikan yang bersifat administrative seperti sertifikasi, gaji, promosi, dan lain-lain. Sebab pendidikan itu tidak sekedar bertujuan untuk melengkapi anak didik dengan alat perlengkapan yang bersifat teknis, serta nilai yang bersifat instrumental (lagi-lagi) tehnis saja.
Sebagaimana pesan Deliar noer : "tugas seorang guru bukan menyampaikan pengetahuan tehnis belaka melainkan menyibukkan diri dengan nilai-nilai yang diperlukan (untuk ditumbuhkan) . Dengan demikian, pendidikan karakter akan tercipta bila negara, lingkungan sekolah ( guru ), masyarakat, dan keluarga mampu menciptakan dan membentuk mentalitas cinta kebenaran, dan membela kebenaran, serta menumbuhkan nilai-nilai cinta keadilan dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar