Sabtu, 12 Juni 2010

Tugas Essay (Pak M. Izman H, Ph.D) 13 Juni 2010//Manajemen Sistem Informasi

Essay :


1. Strategi yang harus diterapkan oleh orang tua atau masyarakat umum dari perkembangan sosial networking (contoh : facebook atau twitter) yang tengah marak pada saat ini, adalah :

Bahwa kehadiran situs jejaring sosial dewasa ini memang dirasakan sangat berpengaruh besar terhadap pengguna teknologi informasi terutama pengguna handphone dan internet. Pengaruh tersebut dapat saja bersifat positif, seperti :

(1) sebagai tempat mencari kesenangan dan hiburan

(2) salah satu cara merawat relasi yang sudah ada

(3) salah satu jalan untuk mencari teman lama

(4) salah satu cara untuk membangun relasi baru

(5) sebagai alat untuk membangun kepercayaaan diri

(6) sebagai kesempatan untuk menjadi orang lain

(7) sebagai sarana untuk mengangkat masalah-masalah sosial.

Namun, pengaruh negatifnya juga tak kalah banyak dan lebih meresahkan, antara lain :

(1) terlalu banyak menghabiskan waktu pada SJS

(2) menggunakan profil untuk mempromosikan diri berlebihan

(3) menipu melalui SJS

(4) disalahgunakan untuk tindakan menyimpang seperti pencurian identitas.

Banyak pihak dan atau oknum yang justru menyalah gunakan media ini sebagai ajang bursa sex, vidio porno bahkan sampai pada transaksi ”jual diri” yang vulgar dan eksotis. Dan yang lebih memprihatinkan bahwa yang menjadi objek adalah kelompok siswa/mahasiswa, yang masih labil emosinya – jika kesenangan yang menjadi taruhannya.

Untuk itu perlu pengendalian/pencegahan yang harus dilakukan, antara lain :

- Orangtua dituntut untuk lebih mawas diri dan over protective terhadap anaknya jika tidak ingin terbawa arus modernisasi yang kebablasan. Keharmonisan hubungan antar anggota keluarga adalah kuncinya.

- Bagi para guru/pendidik, juga dituntut untuk selalu mengingatkan akan hal-hal baik dan hal-hal buruk dari penggunaan teknologi internet tersebut (khususnya SJS). Selalu mengingatkan hal tersebut disetiap waktu dan setiap kesempatan, karena memang diluar jam sekolah, para siswa tidak lagi dapat dikontrol oleh para guru. Untuk itulah perlu kerja sama dengan orang tua dan stekholder lainnya.

- Pemerintah melalui Departemen Kominfo, perlu mengambil kebijakan kongkrit dan batasan-batasan hukum yang jelas terhadap penyebarluasan SJS yang menyesatkan. Regulasi telematika perlu dirancang dengan jelas berikut sanksi hukumnya bagi setiap pelanggaran budaya maupun etika yang terjadi melalui jejaring tersebut. Social Control sangat dibutuhkan sebagai upaya membentengi generasi muda dari jurang kenistaan yang lebih parah lagi.

2. Tujuan umum konsep keamanan data dan sistem informasi dan penerapannya dilingkungan perusahaan/instansi kerja, adalah :

Bahwa keamanan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian sistem informasi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah ancaman terhadap sistem serta untuk mendeteksi dan perbaikan akibat dari kerusakan suatu sistem. Ancaman terhadap sistem informasi terbagi menjadi :

1. Ancaman aktif : mencangkup kecurangan dan kejahatan terhadap komputer

2. Ancaman pasif : mencangkup kegagalan sistem, human error dan bencana alam.

Kegagalan sistem menyatakan kegagalan dalam peralatan-peralatan komponen (misalnya hard disk). Bencana alam merupakan faktor yang tak terduga yang dapat mengancam sistem informasi. Dan kesalahan manusia (human error) dapat merusak integritas sistem dan data. Input data yang salah dapat mengacaukan sistem, begitu juga dengan penghapusan data. Pelabelan salah terhadap pita magnetik yang berisi back-up sistem juga membawa dampak buruk kalau terjadi gangguan dalam sistem.

Gangguan listrik (voltase), kegagalan peralatan dan fungsi perangkat lunak dapat menyebabkan data tidak konsisten, transaksi tidak lengkap atau bahkan data menjadi rusak. Selain itu, varuiasi tegangan listrik yang terlalu tajam dapat membuat peralatan-peralatan terbakar.

Ancaman lain berupa kecurangan dan kejahatan komputer. Ancaman ini mendasarkan pada komputer sebagai alat untuk melakukan tindakan yang tidak benar. Pengguna sistem berbais komputer terkadang menjadi rawan terhadap kecurangan (fraud) dan pencurian.

Jumat, 11 Juni 2010

e-Education / e-Learning : Antara Inovasi Pembelajaran dan Keterbatasan Implementasi di Sumsel

e-EDUCATION / e-LEARNING : ANTARA INOVASI PEMBELAJARAN DAN KETERBATASAN IMPLEMENTASI DI SUMATERA SELATAN



TUGAS AKHIR SEMESTER OLEH :

NAMA : MUGIARSIH

NIM : 10251022 D

KONSENTRASI : MANAJEMEN PENDIDIKAN

MATA KULIAH : MANAJEMEN SISTEM INFORMASI

DOSEN PENGASUH : M. IZMAN HERDIANSYAH, MM, Ph.D



PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN ANGKATAN XV UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG 2010



Abstrak

Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi di bidang pendidikan (e-education) saat ini menjadi kebutuhan yang tak bisa dielakkan. Penerapan e-education merupakan terobosan besar di dunia pendidikan yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Banyak kontribusi positif bagi aktifitas dan proses pendidikan.salah satu implikasi dalam impelemnatasi e-education adalah fasilitas jaringan international network (internet). Keberadaan internet sendiri mampu menembus keterbatasan yang selama ini terjadi dalam penggunaan konsep manual. Melalui internet memungkinkan seseorang dapat mengakses berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia.

Melalui fasilitas internet memungkinkan seluruh perangkat pendidikan untuk saling berinteraksi. Informasi yang diwakilkan oleh komputer yang terhubung dengan internet sebagai media utamanya telah mampu memberikan kontribusi yang sedemikian besar bagi proses pendidikan.

Peranan e-education yang begitu banyak memberi kontribusi positif idealnya harus diterapkan di semua lini pendidikan di Indonesia. Dari pendidikan dasar, menengah hingga ke pendidikan tinggi. Dari perdesan hingga perkotaan. Namun pada kenyataannya penerapan pendidikan berbasis elektronik secara merata di tanah air bukan tanpa kendala alias tidak semudah membalikkan telapan tangan. Banyak sekali kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin pada institusi pendidikan.

Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau brainware, serta sejumlah kendala krusial lainnya, seperti proses transformasi teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. Soalnya, infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia belum cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan ini. Apalagi, seperti diketahui bahwa Cyber Law (undang-undang tentang dunia maya (internet-red)) belum diterapkan pada dunia Hukum di Indonesia.

Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia. dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan. Hal itu didukung oleh penetrasi komputer (PC) di Indonesia yang masih rendah.

Keterbatasan anggaran tak bisa dipungkiri menyebabkan keterbatasan pengembangan pendidikan di tanah air. Namun demikian, kontribusi positif yang besar bagi perkembangan pendidikan, e-education menjadi salah satu solusi menerobos keterbatasan pendidikan konvensional yang berlaku saat ini. Untuk itu bagaimanakah seharusnya agar penerapan e-education dapat merata di tanah air, menjadi pemikiran kita bersama untuk mencari solusi terbaiknya.

Kata kunci : e-Education, e-Learning, pengertian, aplikasi, implementasi, manfaat, hambatan


I. PENDAHULUAN

Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, media dan informatika, serta meluasnya perkembangan infrastruktur informasi global telah mengubah pola dan cara kegiatan yang dilaksanakan di berbagai bidang baik di bidang pendidikan, industri, perdagangan, dan pemerintahan maupun sosial politik. Perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat informasi (information society) telah menjadi paradigma global yang dominan. Kemampuan untuk terlibat secara efektif dalam revolusi jaringan informasi akan menjadi daya pendorong dalam mendukung kegiatan di berbagai bidang.

Di lingkungan pendidikan, penerapan Teknologi Informasi dalam kegiatan belajar mengajar, sebagai fasilitas pendukung, merupakan landasan dalam membangun lingkungan e-Education / e-Learning. Dengan dijalankannya e-Learning, perkembangan pendidikan terbuka untuk model belajar jarak jauh (Distance Learning).

Kemudahan untuk dan jarak jauh perlu dimasukan sebagai strategi utama e-Learning. Sharing resource bersama antar lembaga pendidikan / latihan dalam sebuah jaringan. Perpustakaan & instrumen pendidikan lainnya (guru, laboratorium) berubah fungsi menjadi sumber informasi daripada sekedar rak buku. Akses internet , penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif dan multimedia dalam pendidikan, secara bertahap akan membantu kelancaran kegiatan belajar mengajar yang akan mengoptimalkan e-Education / e-Learning.

E-learning atau E-education menawarkan solusi untuk masalah-masalah pendidikan di Indonesia. Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang diatur dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah bentuk pembelajaran yang akan efektif bila dilakukan dengan e-education. Electronic Education atau e-education adalah pendidikan dengan menggunakan alat bantu elektronika, yang mengandalkan keunggulan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau lebih dikenal dengan istilah Information and Communication Technology (ICT). Pemanfaatan PJJ dengan e-education untuk negara kepulauan seperti Indonesia ini adalah amat penting karena akan dapat menjangkau berbagai daerah, termasuk daerah terpencil. Pendidikan akan dapat diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dalam jumlah besar, baik yang muda maupun yang tua, yang kaya maupun yang miskin. Dengan keunggulan e-education, maka sistem ini juga akan merupakan pilihan untuk meningkatkan karir bagi mereka yang ingin belajar tetapi tidak punya waktu khusus untuk menempuh pendidikan atau bagi yang ingin belajar tetapi tempat tinggalnya berjauhan dengan sumber belajar. Selanjutnya, dengan e-education maka masyarakat akan dapat menilai kinerja lembaga penyelenggara pendidikan. Bila penilaian dirasa negatif, maka melalui e-education pun saran-saran perbaikan dapat disampaikan tanpa harus menemui pejabat yang bersangkutan.

Pemenuhan terhadap tuntutan standart kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui pembangunan lingkungan e-Education/e-Learning di mana lembaga yang memiliki kurikulum pendidikan yang standart dan berkualitas dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan. Memang disatu sisi sejumlah sekolah yang masih lemah kurikulumnya akan terancam keberadaan dengan terciptanya sistem pendidikan virtual ini. Namun daerah lain yang masih mengalami kesulitan dalam menyediakan sarana pendidikan berkualitas, e-Education/e-Learning menjadi solusi konkrit yang standart dan murah.

Dengan diterapkannya e-Education sebuah sekolah dapat lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan terakhir dunia pendidikan melalui model e-Education ini, karena perubahan dan penyesuaian materi pendidikan dapat dilakukan dengan mudah dan jauh lebih murah dibandingkan dengan model sekolah tradisional.

Model e-Education menawarkan fleksibilitas dan mobilitas bagi pengaksesnya. Tidak ada alasan soal waktu dan tempat lagi bagi masyarakat usia sekolah, karena proses belajar mengajar yang terjadi dalam e-Education/e-Learning tidak mengikat waktu dan tempat.

Dalam lingkungan e-Education, kecepatan transfer dan distribusi ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat. Setiap saat materi pendidikan baru dapat segera disajikan. Sementara itu melalui jaringan global, informasi tentang materi itu dapat terdistribusi sampai ke kota-kota kecil hanya dalam hitungan menit dan detik.

Sebagai negara besar yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan luas 5.193 ribu km persegi, jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa dengan penyebaran yang tidak merata, dan perkembangan fasilitas pendidikan yang kurang memadai, menyebabkan permintaan terhadap pendidikan tidak terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitas. Lembaga pendidikan masih belum cukup jumlahnya dan lebih banyak terdapat di kota-kota besar, sedangkan sebagian besar penduduk berada di daerah pedesaan. Juga perkembangan penduduk yang cepat yaitu 2,27 % per tahun tidak seimbang dengan peningkatan daya tampung SMA dan Perguruan Tinggi yang rendah. Di samping itu, masih belum meratanya pembangunan ke daerah-daerah mengakibatkan juga kesenjangan kualitas pendidikan di Jawa dengan luar Jawa.

Khususnya di Sumatera Selatan, yang terdiri dari banyak kabupaten/kota, 80% sekolah berada di daerah (pada tingkat kabupaten/kota atau kecamatan bahkan di pedesaan). Hanya sedikit sekali sekolah yang berada diperkotaan dan dari yang sedikit tersebut, masih dapat dihitung dengan jari – sekolah sekolah yang sudah menggunakan ICT sebagai media pembelajaran yang terkonek dengan internet, yang mudah diakses oleh seluruh siswa. Sekolah-sekolah tersebut adalah sekolah yang sudah ”dilabelkan” sebagai Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Dengan adanya program pendidikan gratis di Sumsel, sulit bagi sekolah reguler – yang belum berstandar RSBI atau SBI – untuk mengembangkan sekolah. Hal ini dikarenakan ”diharamkannya” sekolah mengakumulasi bantuan dari stekholder. Sedangkan sekolah yang sudah ditetapkan oleh pihak pemerintah sebagai RSBI atau SBI, untuk mengembangkan sekolah, selain memdapat bantuan khusus dari pemerintah untuk pengembangan sekolah tersebut, juga masih diperkenankan menarik kekurangan biaya sekolah dari program pendidikan gratis.

Namun demikian, untuk mengembangkan sekolah yang ber Hi-Tech – yang learning and education system nya sudah secara elektronik – pemerintah pusat akan terus mendorong tumbuhnya sekolah dengan status atau dilabelkan RSBI. Khusus di Sumsel, program pemerintah tersebut sejalan dengan program kerja Dinas Pendidikan Provinsi, dan sejalan dengan Instruksi Gubernur (Alex Noedin) bahwa pada tahun 2013 mendatang, Sumsel akan memiliki 30 RSBI dan 19 SBI untuk tingkat SMA sederajat. Saat ini, dari 790 SMA sedarajat baru ada 24 RSBI tanpa SBI. Untuk tingkat SMP sederajat dari 1.382 sekolah, baru 4 RSBI dan 3 SBI (2 berada di Kota Palembang, 1 di kota Pagar Alam) Sedangkan untuk tingkat Sekolah Dasar sederajat, dari 3.981 sekolah, baru 4 sekolah yang RSBI, tanpa SBI. (Sumeks : edisi 7 Juni 2010)

Keterbatasan anggaran tak bisa dipungkiri menyebabkan keterbatasan pengembangan pendidikan di tanah air. Namun demikian, kontribusi positif yang besar bagi perkembangan pendidikan, e-education menjadi salah satu solusi menerobos keterbatasan pendidikan konvensional yang berlaku saat ini. Untuk itu bagaimanakah seharusnya agar penerapan e-education dapat merata di tanah air, menjadi pemikiran kita bersama untuk mencari solusi terbaiknya.

Melihat hambatan dan keterbatasan yang ada, penerapan e-education di Indonesia bukan hal mudah untuk diterapkan secara merata dalam waktu dekat ini. Namun, hal itu bukanlah angan kosong yang tak mungkin terealisasi. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah menjadi salah satu support yang harus ada. Lantas sejauhmana penerapan teknologi informasi pada dunia pendidikan di Indonesia sendiri?

Penggunaan e-education meski sudah dikenal namun masih belum familiar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, pemanfaatan IT ini di Indonesia baru memasuki tahap mempelajari berbagai kemungkinan pengembangan dan penerapannya untuk bidang pendidikan.

Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah termasuk para pelaku pedidikan memutar otak guna mencari formula yang tepat guna mengatrol mutu kualitas pendidik di Indonesia ini. Jika tidak, maka bangsa ini akan semakin tertinggal dari bangsa lain dari segala bidang kehidupan.

Selain itu, setiap sistem sekolah harus bersifat moderat terhadap teknologi yang memampukan mereka untuk belajar dengan lebih cepat, lebih baik, dan lebih cerdas. Dan penerapan teknologi informasi pada sektor pendidikan menjadi kunci untuk menuju model sekolah masa depan yang lebih baik yang dapat mencetak out put yang hi-tech dan berkualitas.


II. PEMBAHASAN

a. Pengertian e-Education/e-Learning

Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvesional ke arah pendidikan yang lebih terbuka (Mukhopadhyay M, 1995)

“Flexible Learning” Pendidikan tanpa Sekolah (Deshooling Society), yang secara extrimnya guru tidak lagi diperlukan.(Ivan Illich : awal 70an)

Meramalkan bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (flexsible), terbuka dan dapat diakses oleh siapapun juga yang memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia maupun pengalaman pendidikan sebelumnya. (Bishop G, 1989)

Pendidikan mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan informasi yang memungkinkan berinteraksi dan kolaborasi, bukannya gedung sekolah. (Mason R, 1994)

Teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan secara bijak untuk pendidikan dan latihan dan mempunyai arti yang sangat penting bagi kesejahteraan ekonomi. (Tony Bates, 1995)

Pendekatan pendidikan dan pelatihan nantinya yang akan bersifat saat itu juga (just on time). Teknik pengajaran baru akan bersifat dua arah, kolaboratif dan inter-disipliner. (Alisjahbana I, 1996)

Memprediski penggunaan Multimedia Communication (CMC) yang bersifat sinkron dan asinkron. (Romiszwki & Mason, 1996)

Sistem pembelajaran elektronik atau e-pembelajaran (Inggris: Electronic learning disingkat E-learning) adalah cara baru dalam proses belajar mengajar. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan e-learning, peserta ajar (learner atau murid) tidak perlu duduk dengan manis di ruang kelas untuk menyimak setiap ucapan dari seorang guru secara langsung.

Banyak istilah yang dapat dijumpai dalam lingkungan pendidikan berbasis Internet ini, seperti e-Education, m-Educasion dan i-Education. Apa perbedaan dari ketiga istilah tersebut?

e-Education sebenarnya merupakan system pendidikan berbasis media elektronik, seperti radio dan televisi. Misalnya kuliah subuhatau program pelejaran yang disajikan dalam Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Namun berhubung sistem e-Education lebih dikenal oleh masyarakat luas ketika Internet digunakan sebagai media pendidikan, maka masyarakat luas yang menggunakan Internet sebagai media utamanya.

Oleh karana paradigma tentang e-Education yang dipahami saat ini adalah pendidikan berbasis internet, maka selanjutnya digunakan sebagai pemahaman

Sementara itu, pola e-Education ini terus berkembangseiring dengan perkembangan teknologi yang ada hingga tercipta system ponsel. Dengan sistem ponseldi mana skses telepon dapat dilakukan tanpa kabel, paka berkembanglah protokol-protokol baru seperti Wireless Application Protocol (WAP) yang memungkinkan akses internet melalui media komunikasi ponsel di mana sebuah komputer notebook yang terhubung ke sebuah ponsel dapat melakukan akses Internet. Bahkan kini, sejumlah peralatan ponseldapat langsung nengakses Internet.

Oleh karena itu sistem e-Education dimungkinkan untuk diakses melalui berbagai terminal di berbagai tempat sesuai dengan mobilitas pengaksesannya, sehingga lahirlah istilah mobile Education yang disingkat dengan istilah m-Education.

Selanjutnya sistem e-Education kurang menarik bila tidak mampu berinteraksi dengan pengaksesnya. Oleh karena itu para pakar mencoba untuk terus meneliti hingga akhirnya dapat tercipta sistem e-Education yang interaktif yang disebut dengan istilah interactive Education atau disingkat menjadi i-Education di mana pengakses sistem seakan-akan dapat melakukan dialog dengan sistem education tersebut, baik melalui pesan maupun kotak-kotak dialog yang dibangun dalam sistem tersebut.

Pembelajaran on-line adalah pembelajaran yang menggunakan internet untuk menyampaikan bahan ajar kepada siswa yang dipisahkan oleh waktu atau jarak, atau keduanya (Dempsey & Eck, 2002). Medium yang digunakan adalah sistem komunikasi jaringan.

Pembelajaran on-line harus memperhatikan hal-hal berikut :

• Hasil belajar yang diinginkan (learning outcomes)  internet lebih bermanfaat untuk hasil belajar kognitif ketimbang pengembangan keterampilan psikomotor (psychomotor skill development) atau perubahan sikap (attitudinal change)

• Penggunaan konsep interactions dan interactivity  seringkali dikacaukan antara penggunaan konsep interaksi dengan konsep interaktif. Interaksi merujuk kepada keterlibatan perilaku dimana secara langsung saling mempengaruhi; interaktif merujuk kepada lingkungan belajar dua arah

• Lingkungan on-line sebagai komunitas belajar  meskipun tampaknya sebagai perolehan pengalaman yang terisolasi karena hanya berhadapan pada komputer, tetapi dapat dirancang untuk membentuk komunitas belajar seperti perancang, tutor kelompok, kolaborasi sehingga berkembang kreativitas dan partisipasi

b. Sejarah e-Education/e-Learning

E-pembelajaran atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illinois di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruction ) dan komputer bernama PLATO. Sejak itu, perkembangan E-learning dari masa ke masa adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan AUDIO) DALAM FORMAT mov, mpeg-1, atau avi.

2. Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara massal.

3. Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak , dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, SCORM, IEEE LOM, ARIADNE, dsb.

4. Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia , video streaming, serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar, dan berukuran kecil.

Sebelum kata e-Learning menjadi populer banyak istilah yang telah digunakan seperti contoh berikut ini:

• Pembelajaran jarak jauh (open distance learning).

• Pembelajaran berbasis web (web based training).

• Pembelajaran berbasis komputer (computer based training).

• Pembelajaran berbasis teknologi (technology based training).

• Pembelajaran secara online (online learning).

c. Konsep, Ruang Lingkup dan Komunitas E-Education

Konsep pendidikan dengan menggunakan inetrnet sebagai media disebur e-education dari kata e yaitu electronic dan education (pendidikan). E-education sendiri mempunyai pengertian:

* Pada prinsipnya bukan hanya membangun halaman Web

* Tidak hanya berkaitan dengan soal teknis mendigitalkan informasi sekolah melalui internet

* Mampu menghadirkan suasana ilmiah di dubia cyber

Melalui konsep e-education yang menitikberatkan pembelajaran melalui media komputer dan internet diharapkan para pelajar dan mahasiswa dapat lebih memperluas ruang geraknya dalam memperoleh pendidikan sehingga tidak terpaku pada keterbatasan kapasitas institusi dan sarana prasarana lainnya.

Pengertian dari konsep e-deucation adalah :

• Sebuah sistem virtual, pararel dengan sistem nyata/fisis

* Bukan sekedar network, internet dan aplikasi berbasis Web

* Komponen-komponen non fisis, materi kuliah, tugas, diskusi, ujian dan sebagainya disajikan dalam format virtual

Ruang lingkup e-education adalah:

* System informasi e-education

* Chatting

* News group

* Web page

* Rencana belajar

* Konsultasi elektronik

* E-laboratory

* E-books

* E-news

* Vidio conference

Komunitas E-Education adalah :

* Internal

* Penyelenggara institusi pendidikan

* Guru

* Siswa

* Eksternal

* LSM yang konsern terhadap pendidikan

* Pemerintah

* Pengguna lulusan

* Agen pendidikan

* Orang tuan siswa

* Penerbit e-book, e-media

* Penyedia infrastruktur e-education

* Forum lembaga pendidikan

d. Urgensi e-Education pada Institusi Pendidikan di Indonesia

Electronic Education atau disingkat (e-Education) merupakan sebuah terobosan baru di bidang pendidikan yang terbukti mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan itu sendiri. Kehadirannya banyak memberikan kontribusi positif bagi aktivitas dan proses pendidikan.

Salah satu implikasi dalam implementasi E-education adalah fasilitas jaringan International Network (Internet). Keberadaan Internet tak bisa dipungkiri mampu membuka hampir semua sumber berbagai informasi yang tadinya susah diakses. Karenanya, akses terhadap sumber informasi bukan menjadi masalah lagi. Adanya Internet memungkinkan seseorang dapat mengakses berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia.

Khusus dalam dunia pendidikan, keberadaan internet sangat urgens dalam mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan materi/informasi yang dibutuhkan para pelau pendidikan (murid dan guru). Selain itu, fasilitas revolusi teknologi informasi milenium III itu memungkinkan seluruh perangkat pendidikan untuk saling berinteraksi. Para pelaku pendidikan dapat saling tukar menukar informasi. Tanpa adanya Internet, mungkin banyak tugas sekolah atau thesis yang mungkin membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk diselesaikan.

Informasi yang diwakilkan oleh komputer yang terhubung dengan internet sebagai media utamanya telah mampu memberikan kontribusi yang sedemikian besar bagi proses pendidikan. Teknologi interaktif ini memberikan katalis bagi terjadinya perubahan mendasar terhadap peran guru –dari informasi ke transformasi–.

Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya seluruh institusi pendidikan yang dimotori oleh pemerintah mulai menerapkan teknologi informasi ke dalam sektor pendidikan melalui E-education-nya. Selain itu, banyak aspek dapat diajukan untuk menjadi sejumlah alasan untuk mendukung pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Salah satu aspeknya ialah kondisi geografis Indonesia yang berkarakteristik terpencar-pencar dari satu pulai ke pulau lainnya.

Karenanya, E-education dapat menjadi fasilitator utama untuk meratakan pendidikan di bumi nusantara. Sebab karakteristik dari model ini mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauh, sehingga tidak terpisah oleh jarak, ruang, waktu. Dengan demikian, daerah-daerah yang awalnya sulit disentuh dengan model pendidikan konvensional, tentunya akan teratasi dengan penerapan IT dalam bidang pendidikan ini (E-education).

Manfaat lain dari implikasi IT dalam dunia pendidikan adalah memungkinkan kerjasama antara pendidik yang yang dididik untuk berinteraksi kendati letaknya berjauhan secara fisik. Dahulu, seorang murid harus berjalan jauh terlebih dahulu untuk menemui gurunya guna mendiskusikan suatu masalah. Namun, kini, hal tersebut dapat dilakukan di rumah dengan mengunakan fasilitas jaringan internet (mailing, chating). Tugas sekolah, makalah dan bahan untuk penelitian dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui Internet, via email, ataupun dengan menggunakan mekanisme file sharring dan mailing list. Dengan demkian batasan jarak bukan menjadi masalah lagi.

Pesatnya perkembangan IT, khususnya internet, memungkinkan pengembangan layanan informasi yang lebih baik dalam suatu institusi pendidikan. Di lingkungan perguruan tinggi misalnya, pemanfaatan IT bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga perguruan tinggi dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi tersebut melalui internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet yaitu pengadaan materi kuliah secara online sehingga materi kuliah tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.

Pada tingkat pendidikan SMU, implikasi IT juga sudah mulai dilakukan kendati masih bersifat ”ekstrakurikuler” dan belum menjadi kurikulum utama yang diajarkan untuk siswa. IT belum menjadi media database utama bagi nilai-nilai, kurikulum, siswa, guru atau yang lainnya. Namun, kendati begitu, prospek untuk masa depan penggunaan IT di SMU cukup terbuka.

Selain itu, sharing information dapat dilakukan dnegan memanfaatkan jaringan internet yang sangat dibutuhkan dalam bidang penelitian agar penelitian tidak berulang (reinvent the wheel). Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat digunakan bersama-sama sehingga mempercepat proses pengembangan ilmu dan teknologi.

Implikasi IT pada institusi pendidikan (e-Education) seperti di paparkan di atas merupakan sebuah aplikasi baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kendati saat ini aplikasinya masih belum optimal bahkan masih berupa angan, karena teknologi yang masih terbatas serta ketersediaan perangkat software, hardware dan brainware (Sumber Daya Manusia) yang minim.

Namun, seiring perkembangan IT yang semakin pesat, maka di masa depan, e-Education akan menjadi pilihan yang tak bisa ditawar lagi implikasinya, sehingga diharapkan dapat tercipta suatu sistem belajar mengajar yang efektif yang diimpi-impikan oleh setiap ahli IT serta para pelaku dunia pendidikan di Indonesia.

e. Aplikasi e-Education

1. Silabus berbasis web

Agar peserta didik dapat mengetahui dengan pasti kurikulum yang akan diikuti selama masa pendidikannya, maka diharapkan silabus dapat dikonversi menjadi halaman web sehingga mudah diakses.

2. E-mail

Peserta didik dapat berkonsultasi secara elektronik dengan pendidikan, maka aplikasi e-mail, dengan pendidik, maka aplikasi e-mail akan sangat membantu bilamana disediakan.

3. Diskusi beralur

Fasilitas ini untuk melengkapi diskusi kelas biasa dengan model debat online yang hidup dan dapat dijalankan dengan teknologi bulletin board.

4. Forum diskusi elektronik

Melalui forum, pendidikan seakan dapat hadir untuk mengunjungi masing-masing peserta untuk memberikan pekerjaan tumah atau ahan diskusi untuk topic-topik yang menarik.

5. Bahan kuliah online

Digitalisasi dari materi perkuliahan yang disusun oleh pendidikan.

6. Buku nilai online

Perlu disediakan agar sewaktu-waktu peserta didik dapat melihat hasil belajarnya dan melakukan evaluasi pribadi atas presentasinya.

7. Ujian berbasis computer

Memungkinkan untuk diakses oleh para peserta didik bilamana ia telah menyelesaikan pemahaman terhadap materi-materi dari suatu topik atau mata pelajaran yang ia tekuni.

Suatu pendidikan jarak jauh berbasis web antara lain harus memiliki unsur sebagai berikut :

1. Pusat kegiatan siswa

Sebagai suatu community web based distance learning harus mampu menjadikan sarana ini sebagai kegiatan mahasiswa.

2. Interaksi dalam grup

Para mahasiswa dapat berinteraksi satu sama lain untuk mendiskusikan materi-materi yang diberikan dosen/guru.

3. Sistem administrasi mahasiswa

Dimana para mahasiswa dapat melihat informasi mengenai status mahasiswa, prestasi mahasiswa, dll.

4. Pendalaman materi dan ujian

Biasanya dosen memberikan quiz singkat dan tugas yang bertujuan untuk pendalaman dari apa yang telah diajarkan serta melakukan test pada akhir masa belajar.

5. Perpustakaan digital

Terdapat berbagai informasi kepustakaan, tidak terbatas pada buku tapi juga pada perpustakaan digital seperti suara, gambar, dll.

6. Materi online diluar mata kuliah/pelajaran

Untuk menunjang perkuliahan, diperlukan juga bahan bacaan dari web lainnya.

f. Manfaat e-Education

Ada manfaat yang dapat dipetik baik oleh lembaga pendidikan, siswa dan masyarakat pada umumnya. Adapun rincian manfaat e-Education adalah sebagai berikut:

A. Bagi Lembaga Pendidikan

• Memperpendek jarak. Lembaga pendidikan dapat lebih mendekatkan diri dengan siswa-i di mana jarak secara fisik dapat diatasihanya dengan mengklik situsnya. Sementara itu birokrasi antara pendidik dan mahasiswa dapat dipersingkat, di mana siswa dapat langsungmengirimkan pesan dan melakukan konsultasi langsung melalui e-mail.

• Perluasan pasar. Jangkaun pasar peserta didik dapat menjadi luas di bandingkan dengan sistem pendidikan tradisional yang ”dibatasi” oleh lokasi.

• Perluasan jaringan mitra kerja. Selain perluasan pasar, lembaga pendidikan dapat juga melakukan perluasan jaringan mitra kerja. Secara tradisional sangat sulit bagi sebuah lembaga pendidikan untuk membangun berkomunikasi dengan lembaga atau perusahaan di luar kota atau bahkan di luar negeri. Namun melalui pembuatan situs lembaga maka kontak itu dapat dilakukan secara mudah, cepat dan murah

• Biaya terkendali. Lembaga pendidikan tidak perlu hadir secara fisik di berbagai kota dan penjuru dunia, namun dapat melakuikan prosespendidikan diberbagai lokasi. Disamping itu, perkuliahan tidak memperlukan biaya pembangunan fisik, dan pengturan jadwal kelas yang membebanipejabat jurusan dan universitas. Melalui sistem ini biaya komunikasi dapat ditekan serendah mungkin.

• Hemat. Melalui pola paperless di mana distribusi materi pendidikan, jawaban tes dapat dilakukan secara elektronik, sehingga dapat menghemat dari segi waktu untuk mengintegrasikan dengan data base yang ada di komputer pusat dan waktu pengiriman maupun biaya kertas dan prangko.

• Cash flow terjamin. Dengan sistem e-Education ini, cash flow lembaga akan terjamin, karena lembaga akan menerima pembayaran terlebih dahulu sebelum mengirim materi pendidikan yang dipesan siswa. Dengan pola seperti ini maka modul yang dibutuhkan relatif lebih kecil.

• Manfaat lainnya antara lain meningkatkan citra lembaga, meningkatkan layanan pendidikan , menyederhanakan proses, meningkatkan produktivitas, mempermudah akses informasi, mengurangi biaya trasportasi dan meningkatkan fleksibilitas.

B. Bagi Siswa

• Hemat. Di mana siswa dapat mengukuti proses pendidikan setiap saat dengan akurat , cepat interaktif dan murah.

• Biaya terkendali. Biaya transport menuju lokasi sekolah, kemungkinan terjadinya kecelakaan atau perkelahian dapat ditekan serendah mungkin, karena semua prosesdapat dilakukan dari balik meja dan hanya mengklik mouse.

• Fleksibel. Siswa dapat mengikuti proses pendidikan dari berbagai tempat dengan berbagai kondisi, seperti dari rumah, tempat peristirahatan, warnet atau tempat-tempat lainnya. Siswa juga tidak perlu mengkondisikan dirinya untuk berpakaian dan berpenampilan rapi sebagaimana pendidikan tradisional.

C. Bagi Masyarakat pada Umumnya

• Lahirnya era e-Education membuka peluang kerja baru dengan pola kerja dan permodalan yang baru. Oleh karena itu e-Education tidak akan menggantikan sepenuhnya sistem sekolah tradisional, maka era ini memberi harapan bagi keteresediaan lapangan kerja baru.

• e-Education akan menjadi wahana kompetisi antar lembaga pendidikan yang mengglobal sehingga masyarakat dapat menikmati materi pendidikan berkualitas standar dengan harga kompetitif.

. Bagi Dunia Akademis

• Lahirnya era e-Education memberi tantangan baru bagi dunia akademis untuk mempersiapkan SDM yang memahami dan menguasai bidang tersebut.

• Para peneliti ditantang untuk melakukan analisis terhadap pergeseran pola belajar, proses pendidikan dan pembayaran sistem kredit semesterdalam usaha menemukan kesepahaman baru dan pengembangan teori dan konsep baru.

• Sistem e-Educationjuga membuka kerangka baru dalam penjualan jasa pendidikan, di samping teknologi Internet yang memungkinkan dilakukannya akses materi pendidikan dari jarak jauh. Dari perkembangan itu, dunia akademis ditantang untuk menemukan pola pendidikan jarak jauh yang bermutu.

g. Ilusi Sekarang atau Realitas Masa Depan

Meskipun model e-Education ini memiliki daya pikat yang sangat besar, namun masih ada sejumlah tantangan dan keterlambatan yang harus diatasi. Hambatan e-Education di Indonesia meliputi antara lain:

a. Belum terbentuknya hight trust society. Perubahan budaya dari pola belajar konvesional yang menunjukkan siswa mengikuti proses pendidikan secara fisik menjadi hanya melihat layer monitor. Mengubah budaya tidak semudah membalik telapak tangan.apalagi etika pendidikan berbasis Internet yang sehat belum terumuskan dan tersosialisasi dengan baik. Tingkat kepercayaan masyarakat juga akan berakibat pada diragukannya validitas hasil ujiannya.

b. Pada umumnya harga pendidikan dapat ditekan, namun biaya untuk menyediakan teknologi pengaksesannya bertambah.

c. Sarana peralatan masih belum memadai. Saluran telekomunikasi public masih menggunakan jaringan lama dan untuk perbaikan jaringan atau pembangunan jaringan baru tidak cukup dana. Sementara itu, sarana teknologi komputer masih tergolong barang mewah, sehingga kepemilikannya masih sangat terbatas. Meskipun dapat ditempuh dengan memanfaatkan warnet, tetapi hal itu berarti adanya biaya tambahandiluar harga produk.

d. Masih sangat sedikit SDM memahami dan menguasai dengan baik benar konsep dan implementasi teknologi informasi dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Namun sebaliknya juga usaha dan ketertarikan diri SDM untuk memahami teknologi masih tergolong rendah.

e. Layanan pendukung utama seperti jasa pos masih membutuhkan pembenahan dan peningkatan, sehigga jeda waktu dari terjadinya transaksi pembelian buku atau modul hingga diperolehnya barang tersebut oleh pembeli tidak terlalu lama.

f. Adanya tindak kejahatan penyalahgunaan kartu kredit, sehingga masyarakat mengalami phobia terhadap mekanisme e-Education yang menyertakan nomor kartu kredit dalam formulir transaksi.

g. Belum lagi masalah perbedaan platform yang digunakan di dalam lembaga pendidikan. Perbedaan platform ini meliputi pola format pencatatan dan laporan, prosedur, sietem waktu, budaya, hukum dan sebagainya.

h. Pihak lembaga dan siswa masih menunggu sistem e-Education stabil sebelum mereka memanfaatkannya secara optimal. Di samping itu,para pengelola lembaga masih mencobauntuk menguasai medan pendidikan lewat Internet ini.

i. e-Education masih dipandangsebelah mata sebagai sistem yang sulit dioperasikan dan belum ada aturan yang jelas daripemerintah.

j. Perubahan pola siswa yang cenderung pasif dan menunggu materi pendidikan menjadi siswa yang aktif dalammencari materi pendidikan.

k. Etika dan moralitas masih belum mendapat tempat yang tepat, sehingga sistem e-Education dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran etika dan moralitas, seperti menjajakan situs pornografi.

l. Sudah terlanjur tersedia gedung-gedung sarana pendidikan, sehingga pengelola lembaga pendidikan harus melakukan relokasi tempat yang tersedia itu.

m. Sementara itu e-Education ini tampaknya digunakan untuk membidik segmen pasar tertentu, mengingat persyaratan ketrampilan dan kemampuan yang harus terpenuhi untuk menjadi mengakses model tertentu. Belum lagi kemampuan untuk melakukan pemeliharaan terhadap situs yang dibuat tidak sebanding dengan tuntutan akademisi untukmemperoleh informasi terkini.

n. Di samping itu, usaha penyebarluasan alamat situs juga masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagilembaga pendidikan yang terlah membangun situs Web-nya.

Meskipun tantangan dan hambatan nyata yang terhampar di depan mata sedemikian banyakdan berat,namun para pengelola lembaga yang mengidolakan e-Education tak perlu surut. Mengapa demikian? Jika memperhatikan tingkat pertumbuhan pengguna Internet dalam 5 tahun terakhir ini mencapai rata-rata 100% pertahunnya. Fantastis

h. Hambatan Implementasi e-Education pada Institusi Pendidikan

Jika memang IT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya hal tersebut harus segera diimplikasinya. Namun ternyata, implikasi IT terutama menerapkan e-Education pada institusi pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak sekali kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin pada institusi pendidikan. Apalagi, kesiapan pemerintah sendiri masih patut dipertanyakan dalam hal ini?

Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau brainware, serta sejumlah kendala krusial lainnya, seperti proses transformasi teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. Soalnya, infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia belum cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan ini. Apalagi, seperti diketahui bahwa Cyber Law (undang-undang tentang dunia maya (internet-red) belum diterapkan pada dunia Hukum di Indonesia.

Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia. dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan. Hal itu didukung oleh penetrasi komputer (PC) di Indonesia yang masih rendah.

Biaya juga merupakan kendala utama, karena biaya penggunaan jasa telekomunikasi relatif masih mahal, sehingga jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia..

Karenanya, perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Salah satunya dengan memperluas jaringan akses ke internet yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya melalui fasilitas internet di kampus, sekolahan, dan bahkan melalui warung internet.

Hal tersebut tentunya dihadapkan kembali kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; toh pada akhirnya semuanya terpulang kembali kepada pihak pemerintah. Sebab, pemerintah-lah yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan.

Namun, yang jadi persoalan, apakah pemerintah punya waktu untuk memikirkan persoalan ini? Di saat pemerintah masih bingung dalam mencari formulasi sistem pendidikan yang terus berganti-ganti.

Sementara pemerintah masih berkutat dengan kebijakannya serta pelit untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan pendidikan. Negara-negara yang nota nebe dahulu berada di bawah Indonesia dari segi teknologi, sebut saja Malaysia dan Thailand, saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan revolusi pendidikan melalui penerapan IT pada sejumlah institusi pendidikan.

i. Peran Serta Pemerintah - Masyarakat

1. Peran Pemerintah

Melihat hambatan dan keterbatasan yang ada, penerapan e-education di Indonesia bukan hal mudah untuk diterapkan secara merata dalam waktu dekat ini. Namun, hal itu bukanlah angan kosong yang tak mungkin terealisasi. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah menjadi salah satu support yang harus ada. Lantas sejauhmana penerapan teknologi informasi pada dunia pendidikan di Indonesia sendiri?

Penggunaan e-education meski sudah dikenal namun masih belum familiar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, pemanfaatan IT ini di Indonesia baru memasuki tahap mempelajari berbagai kemungkinan pengembangan dan penerapannya untuk bidang pendidikan.

Kendati upaya-upaya peningkatan kualitas mutu serta kuantitas yang membawa nama pendidikan telah dilakukan oleh pihak pemerintah. Namun, usaha yang dilakukan pemerintah biasanya hanya bersifat konstitusional demi mendapatkan lulusan dari sekolah yang kompetitif dan siap bersaing secara global. Misalnya, dengan menetapkan angka batas minimal kelulusan Ujian Negara (UN) dengan nilai sebesar 4,00 dengan tidak digabung dengan poin pada ujian praktek ditambah lagi tanpa ujian praktek.

Akibatnya, alih-alih berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan, kebijakan tersebut justru membuat semua pihak yang terlibat di dunia pendidikan, terutama guru dan murid menjadi seperti ”dikejar target”. Karenanya, berbagai cara pun ditempuh guna mencapai nilai tersebut. Namun sayangnya, sejumlah upaya yang ditempuh sebagian sangat jauh dari nilai-nilai peningkatan mutu itu sendiri.

Malahan dari suara-suara kontra UN, kebijakan tersebut bisa dibilang ”membunuh” potensi sejumlah siswa yang memiliki bakat dan keterampilan pada bidang yang tidak di UN-kan. Sehingga ia akan menjadi rendah diri karena tidak lulus UN, padahal ia memiliki keahlian pada bidang lain, seperti sastra atau IT misalnya.

Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah termasuk para pelaku pedidikan memutar otak guna mencari formula yang tepat guna mengatrol mutu kualitas pendidik di Indonesia ini. Jika tidak, maka bangsa ini akan semakin tertinggal dari bangsa lain dari segala bidang kehidupan.

Selain itu, setiap sistem sekolah harus bersifat moderat terhadap teknologi yang memampukan mereka untuk belajar dengan lebih cepat, lebih baik, dan lebih cerdas. Dan penerapan teknologi informasi pada sektor pendidikan menjadi kunci untuk menuju model sekolah masa depan yang lebih baik yang dapat mencetak out put yang hi-tech dan berkualitas.

2. Peran Pihak Swasta

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di tanah air, munculnya pendidikan yang dikelola pihak swasta menjadi alternatif pilihan baru. Terlebih lagi, jika kualitas pendidikan yang ditawarkan mempunyai nilai lebih dari pendidikan secara formal yang dikelola pemerintah. Tak heran, jika saat ini terutama di kota-kota besar, sekolah berlabel, sekolah international, sekolah global dan lain-lainnya mendapat tempat di masyarakat. Meskipun untuk itu, mereka harus rela mengeluarkan cost yang relatif lebih besar.

Untuk sekolah-sekolah berlabel seperti itu, penerapan e-education tampaknya lebih terkondisikan untuk diterapkan secara optimal, sepanjang kebijakan dan kemauan pihak sekolah mengarah pada hal tersebut.

Karenanya, kemauan kuat masyarakat untuk memperoleh pendidikan berkualitas tentunya menjadi peluang tersendiri bagi pihak swasta untuk menjadikan e-education sebagai lahan investasi sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan ditanah air. Namun demikian, ketertarikan pihak swasta untuk berinvestasi di dunia pendidikan tek lepas dari peran pemerintah melalui kebijakan yang berpihak kepada para investor.

Sehingga apakah kecanggihan IT dapat diterapkan secara merata di Indonesia, tentunya dihadapkan kembali kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; toh pada akhirnya semuanya terpulang kembali kepada pihak pemerintah. Sebab, pemerintah-lah yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan.


II. KESIMPULAN

Di lingkungan pendidikan, penerapan Teknologi Informasi dalam kegiatan belajar mengajar, sebagai fasilitas pendukung, merupakan landasan dalam membangun lingkungan e-Education / e-Learning. Dengan dijalankannya e-Learning, perkembangan pendidikan terbuka untuk model belajar jarak jauh (Distance Learning).

Sistem e-Educationjuga membuka kerangka baru dalam penjualan jasa pendidikan, di samping teknologi Internet yang memungkinkan dilakukannya akses materi pendidikan dari jarak jauh. Dari perkembangan itu, dunia akademis ditantang untuk menemukan pola pendidikan jarak jauh yang bermutu.

Jika memang ICT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya hal tersebut harus segera diimplikasinya. Namun ternyata, implikasi IT terutama menerapkan e-Education pada institusi pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak sekali kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin pada institusi pendidikan.

Melihat hambatan dan keterbatasan yang ada, penerapan e-education di Indonesia bukan hal mudah untuk diterapkan secara merata dalam waktu dekat ini. Namun, hal itu bukanlah angan kosong yang tak mungkin terealisasi. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah menjadi salah satu support yang harus ada.

Karenanya, kemauan kuat masyarakat untuk memperoleh pendidikan berkualitas tentunya menjadi peluang tersendiri bagi pihak swasta untuk menjadikan e-education sebagai lahan investasi sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan ditanah air. Namun demikian, ketertarikan pihak swasta untuk berinvestasi di dunia pendidikan tek lepas dari peran pemerintah melalui kebijakan yang berpihak kepada para investor.

Sehingga apakah kecanggihan IT dapat diterapkan secara merata di Indonesia, tentunya dihadapkan kembali kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; toh pada akhirnya semuanya terpulang kembali kepada pihak pemerintah. Sebab, pemerintah-lah yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA :

1. Agoes TBLK, e-Learning Sebagai Solusi Permasalahan Pendidikan di Indonesia, 26 September 2006, 1:56 AM

2. berita8.com, e-Education Minimalkan Kesenjangan Dunia Pendidikan, 07 Juni 2010, diposkan 20 Nopember 1009, 14:52 AM

3. Denny Charter Blog, e-Education : Revolusi Sistem Pendidikan, 07 Juni 2010, diposkan 04 April 2008, 2:14 PM

4. E-Teknologi.com, Internet dan Pendidikan, diposkan oleh Education Website Network

5. Lukito Edi Nugroho (2007) : e-Education : Model Pendidikan Masa Depan di Indonesia

6. Syopian Blog. 21 Maret 2010, 07:27 AM, Ayo, bahu membahu terapkan e-education di Indonesia.

7. Sumatera Ekspres, Edisi Senin, 07 Juni 2010

8. Wahyupur.files.wordpress.com, Perkembangan e-Learning di Imdonesia, 07 Juni 2010, diposkan 19 Oktober 2009

9. Warta Ekonomi, 07 Juni 2010, 11:27,11 AM, Banyak Persoalan Hadang e-Education, diposkan oleh MAM, 04 Nopember 2008, 15:49

10. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembelajaran_Elektronik–Article

11. http://elearning.gunadarma.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=10

12. http://elearning.unpar.ac.id/

13. http://www.moodle.org/sites

14. http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=69

15. http://syopian.net/blogg?p=761

16. http://adrianto.ruangkopi.com/makalah/list_abstrak_6.php?recordID=116

17. http://journal.vii.ac.id/indexphp/Snati/article/viewfile/956/966

18. http://iwancourse.blogspot.com/2009/05/pemanfaatan -e-education-untuk.html

Minggu, 06 Juni 2010

Menjembatani Teori dan Aplikasi : Belajar dari Isu-isu Situs Jejaring Sosial

MENJEMBATANI TEORI DAN APLIKASI: “BELAJAR DARI ISU-ISU SITUS JEJARING SOSIAL”



MATA KULIAH : MANAJEMEN SISTEM INFORMASI

DOSEN PENGASUH : IZMAN HERDIANSYAH, MM, Ph.D


TUGAS OLEH  :

NAMA : MUGIARSIH

NIM : 10251022 D

KONSENTRASI : MANAJEMEN PENDIDIKAN




PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER MANAJEMEN

ANGKATAN XV

UNIVERSITAS BINA DARMA

PALEMBANG

2010




Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir situs jejaring sosial (SJS) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan remaja dan dewasa muda. Penggunaan SJS telah mengubah sikap penggunanya terhadap privasi, cara mereka berinteraksi dan membangun relasi, cara mereka menyatakan diri mereka, pemahaman, kebiasaan, dan nilai yang mereka pegang. Makalah ini mengangkat beberapa isu seputar SJS, seperti privasi, presentasi diri, relasi, nilai, budaya dan perilaku, sebagai masukan isu-isu apa saja yang patut diperhatikan dalam membangun aplikasi yang melibatkan interaksi sosial. Berdasarkan isu-isu pada SJS, penulis menemukan:

(1) penggunaan teknologi dapat mengubah nilai, perilaku, dan budaya yang dipegang oleh komunitas, tetapi sebaliknya komunitas juga dapat mengarahkan penggunaan teknologi menurut nilai yang mereka miliki;

(2) teori-teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku dapat digunakan sebagai landasan teoritis penelitian dan pengembangan aplikasi, dan dasar penjelasan bagi fenomena-fenomena yang terjadi pada domain jejaring sosial.

Kata kunci : situs jejaring sosial, privasi, nilai, relasi, interaksi, landasan teoritis




1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari tahun 2002 hingga sekarang, anak muda dibanjiri dengan banyaknya situs jejaring sosial (SJS), seperti MySpace, Facebook, Flickr, Friendster, dan sebagainya, walaupun sebenarnya layanan ini telah di mulai pada tahun 1997 oleh SixDegrees.com, kemudian dilanjutkan oleh LiveJournal, AsianAvenue, BlackPlanet (1999), MiGente (2000), dan terus bermunculan SJS baru hingga saat ini. Anak-anak Indonesia pun tidak ketinggalan meluncurkan SJS, sebut saja Fupei, Kombes, KapanLagi, AyoGaul, dan lain-lain. Beberapa SJS nasional terkesan hanya “menjiplak” SJS yang ada di luar negeri, tetapi ada juga yang melakukan diferensiasi dan mendedikasikan diri untuk anak dalam negeri, misal Kombes memakai label Indonesian Social Network dan FUPEI singkatan dari Friends Uniting Program Especially Indonesia.

Selain keutungan yang diberikan, seperti memperluas, membangun, dan menjaga relasi, untuk kesenangan dan hiburan, dan untuk mendapatkan informasi tertentu, situs jejaring sosial juga membuka peluang bagi isu-isu privasi, rasisme, pornografi, penculikan, pencurian identitas, pelecehan seksual, perubahan nilai-nilai, penipuan, dan kekerasan seperti yang ditunjukkan oleh beberapa judul berita berikut, “Facebook Picu Kekerasan Berdarah?”, “Profil Palsu di Facebook Bikin Hidup Wanita Hancur”, “Friendster ‘Ancam’ Masa Depan Remaja”, “Rasisme merebak di Facebook”, dan “Seorang anak hilang gara-gara situs jejaring sosial”. Satu hal yang patut diwaspadai adalah sebagian besar pengguna SJS berasal dari kalangan remaja atau dewasa muda—golongan yang sangat rentan terhadap hasutan dan tindak kejahatan. Sepertinya, SJS kini telah menjadi taman bermain yang berbahaya bagi mereka.

Makalah ini mencoba mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan SJS, khususnya yang berkaitan dengan isu privasi nilai-nilai, budaya, perilaku, dan relasi. Dengan begitu kita dapat mengetahui apa yang sebenarnya sedang dihadapi oleh komunitas SJS. Isu-isu ini sebaiknya ditanggapi sebagai isu bersama oleh berbagai disiplin ilmu.

Melalui isu-isu tersebut, makalah ini mencoba mengangkat pelajaran apa saja yang dapat diperoleh dari hasil interaksi antara sistem SJS dengan penggunanya. Penulis menemukan dua hal penting dalam menjebatani teori dan aplikasi pada domain jejaring sosial, yaitu

(1) penggunaan teknologi dapat mengubah nilai, perilaku, dan budaya yang dipegang oleh pengguna, tetapi sebaliknya pengguna juga dapat mengarahkan penggunaan teknologi;

(2) teori-teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku dapat digunakan sebagai landasan teoritis bagi penelitian dan pengembangan aplikasi, dan dasar penjelasan bagi fenomena-fenomena yang terjadi pada domain jejaring sosial.

B. Situs jejaring sosial

Situs jejaring sosial (SJS) atau social network service (SNS) diartikan oleh Boyd dan Ellison, sebagai situs yang memberikan layanan berbasis web yang memungkinkan pengguna untuk:

(1) membangun suatu profil publik atau semi-publik dalam suatu sistem terbatas,

(2) menampilkan daftar teman (pengguna lain) yang melaluinya para pengguna dapat saling berbagi relasi, dan

(3) memperlihatkan dan mengubah daftar relasi mereka dalam sistem tersebut.

Ofcom mendefinisikan situs jejaring sosial sebagai situs yang menyediakan layanan bagi pengguna untuk membuat profil atau halaman pribadi, dan membangun jejaring sosial online. Halaman profil berisi informasi pribadi (nama, kelamin, agama, hobi, dsb.). Sebagai tambahan, situs jejaring sosial juga menyediakan kostumasi halaman, layanan berbagi foto, video, dan musik. Pengguna dapat menbangun jejaring sosial yang dapat ditampilkan dalam bentuk daftar teman. Teman di sini dapat berarti teman atau kenalan mereka di dunia nyata, atau orang-orang yang hanya mereka kenal secara online, atau bahkan yang tidak mereka kenal sama sekali.

Beberapa fakta yang patut dikemukakan adalah sebagian besar pengguna SJS adalah remaja dan dewasa muda. Sepertinya SJS telah menjadi “tempat bermain” populer dan menyenangkan bagi mereka. Beberapa penelitian seperti, mendukung fakta-fakta tersebut. Selain itu, kesadaran pengguna pada masalah privasi tidak menghentikan mereka untuk tetap terlibat dalam SJS dengan beberapa alasan.

Cepatnya pertumbuhan SJS didorong oleh beberapa faktor antara lain :

(1) meningkatnya penetrasi internet dan kecepatan koneksinya

(2) meningkatnya melek teknologi informasi dan komunikasi

(3) meningkatnya usability/user-friendly aplikasi

(4) SJS merupakan bagian dari pertumbuhan teknologi Web 2.0

(5) komunikasi di sekitar topik-topik relasi sosial atau pergaulan

(6) meningkatnya keanekaragaman aplikasi yang memperkaya SJS, seperti instant messaging, social network display, chatting, dan layanan untuk berbagai foto, video, dan musik.

Dari beberapa literatur, penggunaan SJS dapat memberikan keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang dapat diberikan berupa:

(1) sebagai tempat mencari kesenangan dan hiburan

(2) salah satu cara merawat relasi yang sudah ada

(3) salah satu jalan untuk mencari teman lama

(4) salah satu cara untuk membangun relasi baru

(5) sebagai alat untuk membangun kepercayaaan diri

(6) sebagai kesempatan untuk menjadi orang lain

(7) sebagai sarana untuk mengangkat masalah-masalah sosial.

Kerugian yang dapat diberikan oleh SJS adalah sebagai berikut:

(1) terlalu banyak menghabiskan waktu pada SJS

(2) menggunakan profil untuk mempromosikan diri berlebihan

(3) menipu melalui SJS

(4) disalahgunakan untuk tindakan menyimpang seperti pencurian identitas.

C. Beberapa Isu pada SJS

SJS, sebagai aplikasi Web 2.0 yang paling digemari dalam beberapa tahun terakhir ini, mampu mampu menarik perhatian para peniliti. Makalah ini mencoba mengkategorikan hasil penelitian-penelitian SJS ke dalam isu-isu, seperti privasi, presentasi diri, relasi, nilai, dan budaya dan perilaku. Isu-isu ini diangkat karena isu-isu ini cukup sering muncul pada berbagai sumber.

a. Privasi

Isu pertama yang diangkat pada makalah ini adalah isu privasi dan kesadaran pengguna dalam menjaga informasi dirinya. Privasi adalah tingkat keterbukaan dan penerimaan seseorang terhadap kehadiran orang lain dalam hidupnya. Di dunia, orang cenderung memilih-memilih pihak-pihak mana saja diperbolehkan mengetahui atribut-atribut tertentu kehidupannya, tetapi di dunia maya ini sulit dilakukan karena sekali indentitas pengguna online, identitas akan terbuka kepada banyak orang, kenalan dan bukan kenalan.

Penelitian yang dilakukan oleh Tufekci, pada Facebook dan Acquisti dan Gross pada MySpace menunjukkan bahwa sedikit atau tidak ada relasi antara kesadaran privasi pengguna dengan informasi pribadi yang ditampilkan. Sebagian pengguna sadar bahwa dengan terlibat dalam SJS akan membuat indentitas mereka terbuka, tetapi mereka tetap melakukannya. Alasan mengapa mereka tetap melakukannya dijawab oleh Ofcom dan hasilnya berupa 8 alasan, yaitu

(1) kurangnya kewaspadaan terhadap masalah privasi

(2) bagi sebagian besar pengguna, inti dari mereka terlibat dalam SJS adalah untuk memperluas jejaring sosial mereka di luar kehidupan nyata

(3) adanya asumsi bahwa SJS secara otomatis mengatur privasi mereka

(4) tingkat literasi internet yang rendah

(5) Informasi dan fasilitas privasi dan keamanan sulit ditemukan dan digunakan

(6) mereka beranggapan bahwa situs lain seperti online dating yang mendorong penggunanya untuk bertemu langsung, dan e-banking yang melibatkan transfer uang, jauh lebih berbahaya daripada SJS

(7) pengguna baru merasa bahwa profil mereka masih belum terlihat oleh penguna lain

(8) kebutuhan untuk menjadi fokus perhatian mengalahkan kesadaran privasi.

Masalah privasi pun tidak lepas dari alasan yang ada di balik presentasi profil pengguna. Beberapa alasan psikologis dan sosial berupa kebutuhan manusia untuk memperluas dan membangun relasi, serta kebutuhan untuk diperhatikan mempengaruhi presentasi profil mereka. Ini akan dibahas pada bagian selanjutnya. Dari sisi perancangan, para perancang perlu memperhatikan hal ini dengan memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk mengatur akses terhadap informasi pribadinya dan secara berkelanjutan mengedukasi pengguna mengenai masalah privasi.

b. Presentasi Diri

Pada SJS, pengguna mempresentasikan dirinya dalam bentuk profil yang berisi data pribadi, pesan singkat, foto, daftar teman, dan sekumpulan testimonial dari teman-temannya. Beberapa SJS juga menyediakan fasilitas blog, video, dan rekaman suara. Bagaimana mereka mempresentasikan dirinya telah menjadi tema beberapa penelitian. Untuk menjelaskannya para peneliti telah menggunakan teori-teori ilmu sosial, perilaku, dan psikologi sebagai landasan teoritis penelitian dan dasar penjelasan bagi fenomena yang terjadi. Beberapa konsep yang digunakan, yaitu impression management, signaling theory, common ground theory, dan transaction cost theory.

Impression management yang dikemukakan oleh Goffman (1950), dalam menjelaskan bahwa seseorang dapat mengubah penampilan dirinya disesuaikan dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan interaksinya. Perubahan presentasi diri dimaksudkan untuk menarik perhatian dari lawan bicara atau orang-orang sekitar dan untuk menunjukkan identitas dirinya. Pada SJS, pengguna akan berusaha membuat profilnya sebaik mungkin dan terkadang berlebih-lebihan (narcism) untuk menarik perhatian pengguna lain.

Signaling theory, menjelaskan bahwa kita, sebagai manusia, menampilkan atribut-atribut diri sebagai sinyal untuk menyatakan sesuatu dari identitas dirinya. Sinyal-sinyal yang dikirim dapat dimanipulasi oleh pengirim untuk mengkomunikasikan kualitas personal, dan diintepretasikan oleh penerima untuk menilai karakteristik pengirim.

Misalnya seorang mahasiswa, sadar atau tidak sadar, berperilaku layaknya mahasiswa dan menujukkan atribut-atribut mahasiswanya ketika berada di lingkungan kampus. Pada SJS, jika pengguna seorang penggila sepakbola maka ia akan menampilkan atribut-atribut yang berbau sepakbola. Penerima akan menangkap sinyal tersebut dan mengartikan pengguna tersebut penggemar sepakbola.

Common ground theory, melalui adalah teori yang menyatakan bahwa seseorang cenderung membina relasi dengan orang yang memiliki latar belakang sama. Teori ini menjelaskan pada kita bahwa dengan memasukkan berbagai informasi pribadi ke dalam profil akan membuat pengguna SJS memiliki teman yang lebih banyak karena pengguna akan lebih banyak mendapati pengguna lain yang memiliki latar belakang sama.

Cost theory, menjelaskan bahwa sinyal, tampilan atau informasi, yang ada pada profil dapat mengurangi biaya dalam menemukan persamaan antara pengguna sehingga membawa kepada kesepahaman. Pengurangan biaya ini dapat diwujudkan melalui penggunaan friends finder, semacam search engine, untuk menemukan pengguna lain berdasarkan kriteria profil yang diberikan. Kehadiran internet juga mengurangi biaya yang disebabkan oleh jarak dan waktu. Sebagai kontradiksi, di dunia nyata seseorang membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mempresentasikan dirinya, memulai pembicaraan, hingga menemukan persamaan, dalam membangun suatu relasi baru.

Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana pengguna SJS mempresentasikan dirinya. Keinginan pengguna untuk membangun relasi baru, keinginan mereka untuk diperhatikan, dan keterlibatan mereka dalam SJS, sadar atau tidak sadar, membuat mereka memberikan identitas diri sehingga rawan terhadap isu-isu privasi.

c. Relasi

Isu menarik lainnya adalah isu mengenai relasi. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian 2, dua alasan mengapa orang-orang menggunakan SJS adalah untuk menbangun relasi baru dan menjaga relasi yang sudah ada, tetapi pada kenyataannya sebagian penggunaan SJS telah menyimpang dari maksud semula.

Beberapa penelitian mengangkat topik pertemanan. Boyd menyatakan bahwa istilah ‘friend’ sebagai indikator pertemanan pada Friendster merupakan relasi yang biner: teman atau bukan teman. Boyd lebih detil mengkontraskan arti pertemanan yang dipegang di dunia nyata dengan pertemanan yang diterapkan di SJS. Ia menunjukkan bahwa ‘teman’ pada SJS telah mengaburkan arti pertemanan itu sendiri. Dia menununjukkan beberapa fakta yang mengejutkan yaitu :

(1) Bahwa ada profil pengguna yang memiliki 127.572.764 teman. Ini menghasilkan pertanyaan apakah pertemanan adalah membangun relasi ataukah mengumpulkan atau mengoleksi teman?

(2) Di kehidupan sehari-hari, seberapa besar usaha yang Anda keluarkan untuk membuat seseorang yang Anda tidak kenal menjadi teman Anda? Dalam SJS ini semudah menekan tombol ‘approve’.

(3) Di dunia kita mengenal istilah kenalan, kolega, rekan, teman, teman baik, teman dekat, dan sahabat, tetapi di SJS hanya ada 2, yaitu teman atau bukan teman. Fono dkk. yang meneliti SJS LiveJournal, mendukung peryataan tersebut, kemudian mengagas bahwa perancang harus memperhitungkan keanekaragaman yang ada pada relasi antara pengguna tidak hanya biner.

Apa yang dapat dipelajari di sini adalah bahwa teknologi yang tidak didesain dengan baik dan tidak memperhatikan pemahaman yang dipegang oleh masyarakat dapat mengaburkan bahkan mengubah pemahaman masyarakat itu sendiri, pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku mereka. Para perancang perlu memperhatikan hal ini dalam mendesain teknologi, khususnya teknologi yang akan digunakan oleh masyarakat luas.

d. Nilai

Nilai adalah pegangan masyarakat atau komunitas mengenai apa yang penting, berharga untuk diperjuangkan. Nilai merupakan panduan perilaku masyarakat yang diwujudkan dalam adat-istidat, norma, dan kebiasaan Adalah sangat menarik bahwa di komunitas jejaring sosial pun terdapat nilai-nilai sebagaimana di dunia nyata. Nilai-nilai ini memandu para pengguna SJS dalam membangun jejaring sosial mereka menggunakan teknologi informasi. Larsen, melalui penelitiannya pada SJS www.arto.dk di Denmark, menemukan bahwa komunitas memiliki nilai “keeping out fakers and being real”, yaitu para pengguna akan memberikan teguran untuk setiap anggota yang tidak menunjukkan identitas diri sebenarnya.

Di SJS lainnya, BodySpace SJS bagi binaragawan memiliki nilai-nilai yang jelas yang mendasari interaksinya. Nilai “Dedikasi, Determiniasi, dan Disiplin” yang mencakup latihan, nutrisi, dan instirahat, dipegang erat oleh komunitasnya. Ini tercermin pada profil dan komentar yang terdapat pada BodySpace. Slogan-slogan seperti “Train Harder, Faster. Eat Better and Feel Leaner!”, “Nothing is impossible!”, dan “If it was easy, everyone would do it.” Mengambarkan nilai yang mereka miliki. Sebagaimana komunitas lainnya mereka juga tabu membicarakan topik-topik tertentu, seperti penggunaan steroid untuk memacu perkembangan otot.

Kontradiksi dengan dua contoh di atas, beberapa penelitian mendapati bahwa beberapa SJS tidak memiliki nilai-nilai yang jelas. Fono dkk. meneliti LiveJournal, menemukan bahwa kurangnya konsistensi interpretasi dan norma sosial menjadi penyebab konflik sosial dalam mengartikulasikan relasi, khususnya pada mengartikan pertemanan yang menyebabkan kesalahpahaman antarpengguna. Kurangnya regulasi norma membuat konflik ini dibiarkan terjadi.

Tidak semua SJS memiliki nilai-nilai yang sama. Sebagian SJS terlihat memiliki nilai yang jelas dan tegas dan sebagian lagi samar-samar. LinkedLn sebagai SJS yang dikhususkan bagi para profesional memiliki norma yang menghendaki agar setiap penggunanya memberikan identitas yang asli, karena kredibilitas dan kebenaran identitas penting dalam karir dan pekerjaan. Ini tidak sama dengan Friendster di mana profil palsu, fakester, dianggap sebagai seni, hiburan, dan buah kreativitas.

Sebagaimana nilai menjadi panduan bagi suatu komunitas, demikian pula nilai berperan dalam SJS. Nilai yang ada pada SJS mencerminkan maksud dari SJS tersebut dibuat (misalnya LinkedLn dan BodySpace di atas). Ketidakjelasan dari nilai dapat membawa kepada konflik, seperti pada kasus fakester. Oleh karena itu, para pengembang SJS perlu memperhatikan regulasi dan sosialisasi nilai dan norma untuk mengarahkan para pengguna SJS kepada status yang dikehendaki oleh SJS.

e. Budaya dan Perilaku

Teknologi dapat mengubah perilaku dan budaya manusia. Hal yang sama juga berlaku pada SJS. Sveningsson meneliti SJS LunarStorm.se, Swedia. Dia menemukan adanya pergeseran budaya pada wanita pengguna SJS. Kebiasaan konvensional komunitas perempuan seperti membicarakan hal-hal pribadi di dalam kamar mereka kini telah bergeser ke SJS ekstensi dari kamar pribadi. Di SJS, mereka menampilkan foto-foto pribadi dan juga memceritakan pengalaman-pengalaman pribadi mereka. Privasi kini telah mengambil tempat di publik.

Jadi, apa yang dapat dipelajari dari isu-isu SJS, khusunya dalam menjebatani antara teori dan aplikasi? Ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.



II. KERANGKA PEMIKIRAN

A. Apa yang Dapat Dipelajari ?

Sebagaimana yang diketahui bahwa pengguna teknologi adalah manusia, dan penggunaannya tidak hanya dilakukan melalui interaksi manusia-teknologi saja, tetapi juga interaksi antara manusia-manusia yang dimediasi teknologi tersebut. Itulah sebabnya dalam terdapat kutipan Boyd yang berjudul Technology-centric Projects Bound To Fail, yang menyatakan:

“Teknologi bukanlah menciptakan alam semesta yang terpisah, walaupun orang-orang science fiction memimpikan hal tersebut. Teknologi membantu dan menyatu dengan keinginan dan kebutuhan manusia yang sudah ada komunitas, perhatian, kekuasaan, uang, dll. Memahami perilaku manusia merupakan kunci memahami teknologi dan perilaku manusia. Kita tidak mengerti bagaimana teknologi berpotongan dengan masyarakat, kita tidak sedang mencoba menempatkan teknologi sosial ke dalam praktik-praktik sosial. Tidak ada pengguna internet. Yang ada adalah orang-orang dan mereka menggunakan teknologi dan internet sebagai alat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka tidak menghubungkan diri mereka dengan internet, tetapi kepada orang-orang yang mereka cintai dan kepada kumpulan pengetahuan. Informasi, pengetahuan, dan media menyebar melalui moda peer-to-peer. Moda tersebut dapat diukur dengan mengamati jejaring tersebut. Teknologi yang dapat digunakan untuk maksud sosial bukanlah tentang individu, buka juga tentang usability. tetapi tentang komunitas dan praktik-praktik sosial. Anda tidak dapat terlibat dalam teknologi sosial seorang diri, Anda harus menjadi bagian dari komunitas.” (terjemahan bebas).

Dari isu-isu yang dinyatakan pada bagian 3 dan melalui studi literatur, makalah ini mengangkat 2 hal penting yang patut diperhatikan dalam menjebatani antara teori dan aplikasi, khususnya pada aplikasi sosial. Hal pertama yang patut diperhatikan, yaitu penggunaan teknologi dapat mengubah nilai, perilaku, dan budaya yang dipegang oleh komunitas, tetapi sebaliknya komunitas juga dapat mengarahkan penggunaan teknologi menurut nilai yang mereka miliki. Kedua, teori-teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku dapat digunakan sebagai landasan teoritis penelitian dan pengembangan aplikasi, dan dasar penjelasan bagi fenomena-fenomena yang terjadi pada domain jejaring sosial.

a. Komunitas vs Teknologi

Gambar 1 Penggunaan teknologi dapat mengubah komunitas, tetapi sebaliknya komunitas juga dapat mengarahkan penggunaan teknologi.

Interaksi antara komunitas kumpulan orang dengan segala nilai, budaya, dan perilakunya dengan penggunaan teknologi dimodelkan pada Gambar 1. Pada model tersebut, teknologi dapat mengubah nilai, pemahaman, budaya, dan perilaku komunitas. Seperti yang telah dijelaskan pada desain SJS yang tidak memperhatikan keanekaragaman makna kata ‘friend’ mempersempit arti makna pertemanan itu sendiri. Ini mengubah pemahaman pengguna terhadap pertemanan seakan-sekan pertemanan hanyalah sekumpulan daftar teman. SJS juga mengubah budaya masyarakat konvensional. Apa yang seharusnya berada pada ruang pribadi kini dengan mudahnya diekspos ke ruang publik, sebagaimana yang ditunjukkan pada studi kasus budaya girls room pada LunarStorm.se di Swedia.

Walaupun begitu, tidak berarti komunitas dikendalikan sepenuhnya oleh teknologi. Sebaliknya, komunitas secara bersama-sama memiliki kemampuan untuk mengendalikan penggunaan teknologi. Sebagai individu maupun sosial, pengguna memiliki nilai yang memandu mereka dalam menggunakan teknologi. Misalnya pada studi kasus Arto.dk di mana mereka menghendaki agar setiap anggota SJS menggunakan identitas asli pada profilnya, atau pada SJS binaragawan, Body Space, di mana sportivitas, kerja keras, dan disiplin menjadi panduan bagi para anggotanya berperilaku. Tiap-tiap anggota dapat berperan mengawasi dan mengarahkan anggota lainnya menuju kepada nilai bersama, sehingga terjadi co-construction, yaitu anggota komunitas saling membangun satu sama lain.

Tetapi patut diperhatikan bahwa penggunaan teknologi oleh komunitas tidak selalu mengarah kepada nilai bersama. Terkadang terjadi penyimpangan terhadap maksud utama dari SJS dibuat. Sebagai contoh, munculnya para fakester pada SJS yang menganggap bahwa profil palsu merupakan suatu karya kreativitas, seni, dan hiburan. Ini dapat terjadi karena ketidakjelasan nilai bersama akibat kurangnya regulasi dan sosialisasi nilai. Jika komunitas memiliki nilai bersama dan nilai tersebut secara berkelanjutan ditekankan, serta nilai tersebut menjadi tujuan dari SJS dibuat, maka komunitas dapat diarahkan kepada komformitas dan kepatuhan tehadap nilai dan norma besama. Untuk menjawab mengapa fenomena-fenomena ini terjadi akan dibahas pada bagian selanjutnya.

b. Teori Ilmu Sosial, Psikologi, dan Perilaku sebagai Dasar Teoritis dan Penjelasan

Teori-teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku dijadikan sebagai landasan teori yang menjembatani antara fakta perilaku komunitas dengan penelitian dan pengembangan aplikasi yang menyentuh domain sosial. Modelnya dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada beberapa teori seperti impression management, signaling theory, common ground theory, dan transaction cost theory digunakan sebagai landasan teoritis bagaimana pengguna SJS mempresentasikan diri dalam membangun relasi baru sehingga memperluas jejaring sosial mereka. Teori-teori tersebut menjadi dasar teoritis penelitian dan pengembangan aplikasi pada domain sosial. Penelitian yang berlandaskan teori-teori tsb. kemudian menghasilkan penemuan-penemuan riset yang juga dapat dijadikan sebagai landasan bagi pengembangan dan implementasi sistem atau aplikasi sosial. Pengembangan yang dilandasi oleh teori-teori tersebut diharapkan dapat menghasilkan aplikasi sosial yang layak diterapkan pada komunitas. Terkandang, penerapan aplikasi sosial ini menghasilkan fenomena-fenomena di luar harapan semula. Teknologi mengubah perilaku komunitas aplikasi sosial atau komunitas menggunakan aplikasi tersebut dengan cara mereka sendiri ini tidak diprediksikan sebelumnya.

Gambar 2 Teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku sebagai landasan teoritis penelitian dan pengembangan aplikasi, dan dasar penjelasan dari fenomena-fenomena jejaring sosial.

Selain sebagai landasan teoritis, teori-teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku juga dapat dijadikan sebagai pejelasan mengapa fenomena-fenomena itu terjadi. Misalnya teori-teori yang disebutkan pada bagian 3.2 dijadikan sebagai dasar penjelasan mengapa fenomena seperti adanya pengguna yang mengerti masalah privasi tetapi tetap membuka indentitas pribadinya pada publik. Mereka, sadar atau tidak sadar, melakukan tindakan tersebut demi mendapat perhatian dan mengurangi biaya memperluas jejaring sosial mereka. Walaupun teori-teori sosial, perilaku, dan psikologi dapat memberikan dasar penjelasan dari fenomena, penelitian yang akurat, mendalam, dan iteratif masih diperlukan untuk menemukan fakta-fakta, bahkan sampai kepada akar permasalahan fenomena. Secara menyeluruh, Pemahaman ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Kendala yang dihadapi adalah isu-isu sosial merupakan isu-isu yang kompleks yang jika dilihat secara utuh terdapat banyak variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga jika hanya menggunakan satu teori saja tidaklah cukup untuk mejelaskan suatu permasalahan. Belum lagi jika isu-isu sosial dibangun di atas teknologi yang terkadang menghasilkan keluaran diluar ekspektasi. Oleh karena itu, kontribusi dan kerjasama dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pengembang atau perancang, sangat diperlukan.



III. Kesimpulan dan Pekerjaan Selanjutnya

Sebagaimana telah dipaparkan dalam makalah ini, ketika manusia, sebagai makhluk sosial, dipertemukan dengan teknologi maka akan menghasilkan perubahan dalam makalah ini disebut sebagai isu. Perubahan tersebut dapat baik dan juga buruk bergantung pada dampak dari perubahan itu sendiri. Makalah ini telah mengangkat isu-isu akibat dari interaksi masyarakat dengan teknologi SJS. Dari isu-isu tersebut, kita dapat belajar menyikapi interaksi kumpulan manusia dengan teknologi. Makalah ini mengangkat dua kesimpulan penting, yaitu

(1) penggunaan teknologi dapat mengubah nilai, perilaku, dan budaya yang dipegang oleh komunitas, tetapi sebaliknya komunitas juga dapat mengarahkan penggunaan teknologi menurut nilai yang mereka miliki.

(2) teori-teori ilmu sosial, psikologi, dan perilaku dapat digunakan sebagai landasan teoritis penelitian dan pengembangan aplikasi, dan dasar penjelasan bagi fenomena-fenomena yang terjadi pada domain jejaring sosial.

Dua kesimpulan ini kiranya dapat menambah pemahaman bagaimana sebaiknya merancang sistem yang mempertemukan interaksi sosial dengan teknologi.

Semua penelitian yang diangkat pada makalah ini merupakan penelitian yang dilaksanakan di luar negeri. Tentunya fenomena yang terjadi di luar negeri tidak harus sama dengan apa yang ada di Indonesia. Bangsa kita memiliki nilai, budaya, dan perilaku sendiri yang membedakannya dari bangsa-bangsa lain. Seharusnya nilai dan budaya Indonesia mendasari apa dan bagaimana teknologi diterapkan dan dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, penelitian seperti apa dan bagaimana SJS di Indonesia masih perlu dikerjakan. Walaupun dengan usia SJS dalam negeri yang masih sangat muda dan jumlah anggota yang masih berkisar ratusan ribu, SJS tetap merupakan wilayah yang menarik untuk diteliti melalui berbagai disiplin ilmu.


Daftar Pustaka:

1. Acquisti, A., dan Gross, R., 2006, Imagined Communities: Awareness, Information Sharing, and Privacy on the Facebook, In P. Golle & G. Danezis (Eds.), Proceedings of 6th Workshop on Privacy Enhancing Technologies (pp. 36-58), Cambridge, U.K: Robinson College, June 28-30.

2. Boyd, D.M, 2004, Friendster and Publicly Articulated Social Networks, Proceedings of ACM Conference on Human Factors in Computing Systems (CHI 2004) (pp. 1279-1282), New York: ACM Press, Vienna, April 24-29.

3 . Boyd, D., 2006, Friends, Friendsters, and MySpace Top 8: Writing Community Into Being on Social Network Sites, First Monday, 11 (12), December, http://www.firstmonday.org/issues/issue11_12/boyd/index.html.

4. Boyd, D.M., & Ellison, N. B., 2007, Social network sites: Definition, history, and scholarship, Journal of Computer-Mediated Communication, 13 (1), article 11, http://jcmc.indiana.edu/vol13/issue1/boyd.ellison.html.

5. Dwyer, C., 2007, Digital Relationships in the ‘MySpace’ Generation: Results From a Qualitative Study, 40th Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS), Waikoloa, HI.

6. Fono, D., dan Kate, R.G., 2006, Hyperfriends and Beyond: Friendship and Social Norms on LiveJournal, In M. Consalvo & C. Haythornthwaite (Eds.), Internet Research Annual Volume 4: Selected Papers from the AOIR Conference (pp. 91-103), New York: Peter Lang.

7. Judith, D., dan Boyd, D., 2004, Public Displays of Connection, BT Technology Journal, 22 (4), 71-82.

8. Kavanaugh, A., Carroll, J.M., Rosson, M.B., Zin, T.T., and Reese, D.D., 2005, Community networks: Where offline communities meet online, Journal of Computer-Mediated Communication, 10(4), article 3, http://jcmc.indiana.edu/vol10/issue4/kavanaugh.html.

9. Lampe, C., Ellison, N., dan Steinfeld, C., 2007, A Familiar Face(book): Profile Elements as Signals in an Online Social Network, Proceedings of Conference on Human Factors in Computing Systems (CHI 2007) (pp. 435-444), New York: ACM Press. San Jose, CA.

10. Larsen, M.C., 2007, Understanding Social Networking: On Young People’s Construction and Co-construction of Identity Online, Paper for the conference Internet Research 8.0: Let’s Play, Association of Internet Researchers, Vancouver.

11. Ofcom (Office of Communications), 2008, Annex3: Social Networking Qualitative Research Report, Research Document, England, 2 April.

12. Ofcom (Office of Communications), 2008, Social Networking: A Qauntitative and Qualitative Research Report into Attidues, Behaviours, and Use, Research Document, England, 2 April.

13. Ploderer, B., Howard, S., & Thomas, P., 2008, Being online, living offline: The influence of social ties over the appropriation of social network sites, Proceedings of CSCW 2008.

14. Redmon, D. , 2002, Testing Informal Social Control Theory: Examining Lewd Behavior During Mardi Grass, in An Interdiciplinary Journal: Deviant Behavior, Volume 23, Issue 4 July 2002 , pages 363 – 384, Routledge Taylor and Francis Group.

15. Sharp, D., 2005, Social Networks, In Barr, Burns and Sharp (2005), Smart Internet 2010. Smart Internet Cooperative Research Centre: Eveleigh, NSW.

16. Soerjono Soekanto, 2008, Sosiologi Suatu Pengatar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

17. Storsul, T., Arnseth, h.C., Bucher, T., Enli, G., Hontvedt, M., Kløvstad, V., dan Maasø, A., 2008, New web phenomena. Government administration and the culture of sharing, report published by IMK and ITU, University of Oslo.

18. Stolley, K.S., 2005, The Basic of Sociology, Greenwood Press, U.S.A, 109-125.

19 Sveningsson Elm, M., 2007, Taking the Girls’ Room Online: Similarities and Differences between Traditional Girls Room and Computer-Mediated Ones, Paper presented at INTER: A European Cultural Studies Conference in Sweden, ACSIS, Norrköping, June 11-13, 2007, Linköping Electronic Conference Proceedings.

20. Tufekci, Z., 2008, Can You See Me Now? Audience and Disclosure Management in Online Social Network Site, Bulletin of Science and Technology Studies, SAGE Publications

[1] http://www.kombes.com

[2] http:///www.fupei.com

[3]http://www.detikinet.com/read/2008/07/29/081328/979458/398/facebook-picu-kekerasan-berdarah, 01 September 2008 14:08:06

[4]http://www.detikinet.com/read/2008/07/04/130148/966963/398/profil-palsu-di-facebook-bikin-hidup-wanita-hancur, 01 September 2008 14:09:24

5. http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/11/tgl/24/time/094942/idnews/856958/idkanal/398, 01 September 2008 14:13:10

[6]http://www.detikinet.com/read/2008/10/11/131505/1018540/398/rasisme-merebak-di-facebook, 11 Oktober 2008 18:15:47

[7]http://international.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/14/18/153955/seorang-anak-hilang-gara-gara-situs-jejaring-sosial, 14 Oktober 2008 20:18:48

Kamis, 03 Juni 2010

Sumarry 2 Seminar Mahasiswa Pascasarjana UBD 2010

MENGENAL KARAKTER PENGUSAHA SUKSES DALAM PEMBANGUNAAN
EKONOMI DAN EKOLOGI

OLEH : DR. Bambang Sujagad, MM



Beberapa karakter yang harus dimiliki oleh seorang pengusaha, antara lain :

I. MOTIVASI KERJA

Yaitu dorongan seseorang untuk bekerja lebih giat, yang ditimbulkan oleh faktor dari dalam dan dari luar untuk mencapai tujuan organisasi, dengan indikator :
a. Adanya indikator dari dalam
b. Adanya indikator dari luar
c. Adanya imbalan yang mencukupi

Beberapa teori yang menjelaskan tentang motivasi (sebagai bahan reverensi) adalah ;
1. Teori motivasi menurut Gibson
2. Teori motivasi menurut Robbins
3. Teori motivasi menurut Hodgett
4. Teori motivasi menurut Greenberg
Sedangkan teori motivasi kerja, sebagai bahan acuan adalah :
1. Teori Maslow (Need Theory)
2. Teori Aldefer (Existence, Relatedness, and Growth)
3. Teori Frederick Herzberg (Motivation-Hygiene Theory)
4. Teori David McClelland (McClelland’s Achievement Motivation Theory)

II. KEPEMIMPINAN

Beberapa ahli mendefinisikan kepemimpinan, sebagai berikut :
1. Katz dan Kahn : Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh kepatuhan
                              dengan arahan rutin organisasi.

2. Kreitner : Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi sekelompok
                   orang dengan tujuan untuk menciptakan keikutsertaan
                   mereka dalam upaya mencapai tujuan perusahaan.

3. Schein : Leadership is ability to step outside the culture to start
                 evolutionary change

4. (dan teori lainnya : Yukl; Robbins; Jhon W. Newstrom; Ivancevich)

Sedangkan untuk model kepemimpinan dapat dijadikan acuan dari beberapa studi sebagai berikut :
1. Studi Universitas Ohio
    Hasil studi kepemimpinan Ohio State University menjelaskan bahwa tingkah laku para pemimpin dapat    
    dikategorikan menjadi dua dimensi, yaitu :
    a. Struktur Kelembagaan (initiating structure)
    b. Konsederasi (consideration)

2. Studi Universitas Michigan
    a. Fokus pada produksi
    b. Fokus pada karyawan

3. Robert H (Path-Goal Leadership Theory)
    Mengemukakan bahwa orang akan termotivasi oleh dua harapan berupa kemampuannya untuk 
    mengerjakan sesuatu tugas dan rasa percayanya bahwa jika karyawan tersebut dapat mengerjakan tugas
    dengan baik akan memperoleh hadiah yang berharga bagi dirinya.

4. Fiedler’s
    a. Model mendasarkan pada dua dimensi, yaitu :
       • Perhatian terhadap tugas (Concern for Task)
       • Perhatian terhadap karyawan (Concern for People)

    b. Model mendasarkan pada tiga dimensi, yaitu :
       • Hubungan Pemimpin-Anggota (Leader-member relations)
       • Srtuktur Tugas (Task Structure)
       • Kuasa Posisi (Position Power)



III. KOMUNIKASI

Komunikasi adalah perpindahan informasi beserta pemahamannya dari satu pihak ke pihak lain, melalui alat-alat berupa simbol-simbol yang penuh arti.

Beberapa definisi komunikasi disampaikan oleh beberapa ahli (sebagai bahan acuan), antara lain oleh :
1. Richard et al
2. Judith
3. Mc Shane dan Von Glinow
4. Terry Mohan
5. A.B. Shani et al


Sedangkan beberapa teori kominikasi, disampaikan oleh pada ahli, antara lain :
1. Shannon dan Weaver (a mathematical communication model)
2. David K. Berlo (Source, Message, Chanel dan Receiver)
3. Dance’Helical (Helical Dance Model)
4. McGregor dan Strano (The Transactional Model of communication)


IV. KEPUASAN KERJA

Kepuasan kerja didefinisikan oleh para ahli sebagai berikut :
1. Robbins : kepuasan kerja menggambarkan perasaan positif tentang
                   pekerjaan, hasil dari sebuah evaluasi karakteristik pekerjaan itu sendiri.

2. Locke : kepuasan kerja adalah emosi yang senang yang berasal
                dari penilaian pekerjaan atau pengalaman seseorang

3. Newstrom : kepuasan kerja adalah kenyamanan perasaan atau emosi
                       karyawan terhadap pekerjaannya.

4. Kreitner : kepuasan kerja adalah sebuah efektif atau respon terhadap
                   sesuatu pekerjaan yang dihadapi.

5. Keith Devis : Kepuasan kerja adalah suasana psikologis tentang
                         perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan
                         terhadap pekerjaan mereka.

6. Ivancevich : kepuasan karyawan tidak secara otomatis dapat
                       meningkatkan produktifitas, walaupun ketidakpuasan
                       karyawan cenderung menurunkan produktifitas, lebih
                       sering mangkir dan menghasilkan kualitas lebih rendah
                       dari karyawan yang puas.

Sedangkan teori kepuasan kerja disampaikan oleh beberapa ahli, sebagai berikut :

1. Discrepancy theory :  kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih antara apa 
                                     yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan
2. Equity theory          :  kepuasan dan ketidak puasan dengan sejumlah aspek pekerjaan tergantung apakah
                                     ia  merasakan keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi
3. Two Factor theory  :  kepuasan kerja dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal yang berbeda
4. Needs theory          :  kebutuhan manusia mempunyai lima tingkatan dimana ditempatkan kebutuhan
                                     lebih rendah (lower order needs) yaitu : Pshicological; safety and security dan
                                     kebutuhan lebih tinggi  (higer order needs) yaitu : belongingness; esteem (self and
                                     interpersonal); self actualization.